TERBUNGKAMNYA KRITIK RAKYAT
“ Indonesia sedang
berkabung “ begitu kata mereka, rakyat Indonesia sedang gelisah, rakyat
Indonesia sedang dilanda kesedihan. Belakangan ini Indonesia sedang digemparkan
dengan ada nya pengesahan RUU KUHP yang menimbulkan adanya pro dan kontra dari
masyarakat, sehingga kebanyakan dari mereka yang tidak setuju akan hal tersebut
melakukan aksi demo untuk menolak RUU KUHP tersebut. RKUHP ini diharapkan
menjadi pengganti KUHP yang ada saat ini, yang merupakan warisan langsung dari
masa Kolonialisme Belanda yang dinilai tidak relevan lagi dengan saat
ini. RKUHP mendpatkan banyak kritikan dan kecaman dari berbagai kalangan karena
dirasa akan menyerang Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang melakukan
aksi demo tersebut merupakah mahasiswa mahasiswa dari berbagai Universitas yang
ada di Indonesia bahkan di tiap tiap daerah seperti Bandung, Solo, Yogyakarta,
Surabaya, Kediri dan masih banyak lagi
mengikuti aksi demo tersebut di depan gedung DPR-RI yang berada di daerah
mereka. Mereka yang mengikuti aksi ini adalah mereka yang menolak RUU KUHP dan
Revisi KPK dengan menggunakan macam macam spanduk bertuliskan pendapat mereka.
Kamis 19 September 2019
mahasiswa menggelar aksi demo di gedung DPR dan berkumpul di jalan Gatot
Subroto, Jakarta. Mahasiswa yang berpatisipasi dalam aksi demo ini membawa
spanduk yang berisikan penolakan penolakan terhadap RUU KUHP dan Revisi KPK.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden KM ITB, Royyan Abdullah pada Mata Najwa 26
September 2019, “ Kami mengusulkan beberapa hal terutama terkait dengan revisi
Undang-Undang KPK yang bermasalah, namun sayangnya kita tidak langsung bertemu
dengan anggota legislatif, namun kita dipertemukan dengan sekertaris jendral
DPR RI yang tentu saja fungsinya berbeda.’’ Sehingga dapat dikatakan pada
tanggal tersebut sudah dilakukannya aksi namun dikatan sebagai aksi damai. Kegelisahan
mahasiswa semakin membuncah, utamanya saat tahu RUU KUHP akan disahkan dalam
Rapat Paripurna, Selasa (24/9/2019). Tagar #GejayanMemanggil (sebuah seruan
yang mengingatkan akan peristiwa bersejarah pada era reformasi 1998)
Para mahasiswa yang turun
ke jalan mengeluarkan statement mereka dan 7 tuntutan berkaitan dengan RUU KUHP
yaitu, RKUHP karena dinilai pasal
pasal tersebut masih bermasalah, Revisi
UU KPK dinilai melemahkan KPK dalam memberantas koruptor, Isu Lingkungan menutut dan mengadili
para petinggi negara untuk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ada
di Indonesia, RUU Ketenagakerjaan
dinilai tidak berpihak kepada pekerja, RUU
Pertahanan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap semangat reforma agrarian, RUU
PKS para mahasiswa meminta agar pemerintah menunda pengesahan RUU ini, Kriminalisasi Aktivis dimana negara
dianggap melakukan kriminalisasi terhadap aktivis. ( https://news.detik.com/berita/d-4722609/ini-7-tuntutan-mahasiswa-yang-demo-di-depan-dpr
)
Tujuan utama para mahasiswa
turun aksi kemarin merupakan berawal dari kerasahan ataupun kegelisahan rakyat
Indonesia dimana setidaknya ada 15 pasal bermasalah dan juga 14 pasal yang
harus diperbaiki. "Kalau
menyisir secara keseluruhan, itu kan sudah tidak mungkin. Karena menyisir itu
butuh waktu... dan itu sudah melalui pembahasan panjang dan
bertahun-tahun," kata Masinton ketika dihubungi BBC Indonesia. Masinton berkata,
apabila harus menyisir seluruh pasal dalam draft akan
membutuhkan waktu lama. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49878488
).
Salah satu yang menjadi kontra dalam RUU KUHP ini adalah pasal
Penghinaan Terhadap Instrument Negara yaitu, menghina presiden-wakil presiden (
pasal 218 – 219 ) pemerintah yang sah ( pasal 240 – 241 ) dan lembaga negara bisa
dipidana ( pasal 353 – 354 ). Menghilangkan hak setiap orang untuk bebas
memberi kritik terhadap pemerintah, Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan
Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 menjelaskan pemerintah tidak boleh
melarang kritik terhadap institusi dan adminstrasi negara. Indonesia merupakan
negara demokrasi dimana rakyatnya bebas untuk bersuara dan mengkritik dan juga
merupakan suatu langkah mundur terhadap reformasi yang sudah diperjuangkan.
Masyarakat dapat mengkritik apabila ada yang salah dalam peraturan yang
dianggap rancu dalam kehidupan di masyarakat, hal ini bertentangan dengan
semangat demokrasi serta tidak sesuai dengan peradaban demokrasi. Menurut
Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti ada atau tidak ada
putusan MK pasal tersebut tidak relevan karena hanya terdapat pada negara
negara monarki, dimana raja atau ratu
sebagai kepala negara menjadi lambang negara sementara presiden bukan lambang
negara. Seperti dikatakan oleh Peneliti ICJR ( Institut for Criminal
Justice Reform ) Erasmus Napitupulu “
Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia dan perumus
RKUHP belum sepenuhnya memahami konsep reformasi hokum pidana.” Pada pasal 218
mengatur bahwa setiap orang yang dianggap ‘menyerang kehormatan’ Presiden dan
Wakil Presiden akan dipenjarakan 3,5 tahun dan di denda sebesar Rp.150jt.
Sementara pada pasal 219 dinyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan dan
mempertunjukkan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat
presiden dan wakil presiden di depan public terancam hukuman paling lama 4
tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp.150jt. Seperti yang dikatakan oleh Feri
Amsari bahwa pasal ini dapat di tafsirkan sebagai pasal karet karena tidak
dijelaskan seperti apakah “ menyerang kehormatan “ tersebut "Sangat potensial menjadi pasal karet.
Harusnya pasal-pasal yang menurut MK [Mahkamah Konstitusi] melanggar UUD 1945
tidak dapat lagi dihidupkan melalui undang-undang baru," jelas Feri kepada CNNIndonesia.com melalui pesan
singkat. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal tersebut pada
tahun 2006 karena dapat menimbulkan tafsiran yang rentan manipulasi apabila
pasal tersebut dihidupkan kembali akan menimbulkan polemik, sehingga dapat
menyebabkan ‘perang’ antara rakyat dan presiden yang dimana seharusnya presiden
dan wakil presiden menampung aspirasi dan kritikan dari masyarakat yang
nantinya akan menjadi penilaian terhadap kinerja yang telah di dilakukannya.
Alasan dicantumkannya
kembali RUU KUHP penghinaan presiden dan wakil presiden ini lantaran maraknya
kritikan yang mejerumus kepada pelecehan martabat daripada kritikan yang
membangun. Apabila pasal ini diangkat kembali bukan untuk mengatur namun akan
kembali lagi pada zaman Orde Baru dimana semua kritikan terhadap pemerintah
akan di cap sebagai penghinaan yang nantinya akan berakibat fatal bagi rakyat
Indonesia. Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Jakarta, Suparji Ahmad menilai
hal tersebut adalah warisan colonial dan bertentangan pada putusan MK "Saya berharap pasal tentang penyerangan harkat
martabat itu salah satu harus dihapuskan, pasal 217-220 sehingga demikian
betul-betul responsif. Karena pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena
dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," kata Suparji
dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/9/2019).
Menurutnya penafsiran terhadap pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
dikhawatirkan multi-interpretasi. Pasal-pasal itu
menurutnya dikhawatirkan mempidanakan orang, padahal Presiden adalah pejabat
publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat wajar kalau dikritik, jika pers
mengkritik kebijakan, suatu persoalan maka Presiden atau Wapres tidak bisa
menilainya sebagai penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat sehingga
pers tidak bisa dipidanakan. (https://www.liputan6.com/news/read/4068335/pakar-hukum-warisan-kolonial-pasal-penghinaan-presiden-di-ruu-kuhp-harus-dihapuskan)
Ada juga tanggapan dalam
pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP diantaranya adalah
Pakar Hukum Pidana UI Indriyanto Seno Aji mengatakan ‘’ Tidak perlu
dikhawatirkan delik tersebut menghindari politisasi hokum. Format pasal
penghinaan tersebut sangat moderat dan masih dalam batasan dan dinamika prinsip
pidana. ‘’ ( Sabtu, 31 Agustus 2019 ). Politikus partai NasDem Taufiqulhadi berkata "Tidak mungkin (jadi alat kriminalisasi), karena selain itu
adalah delik aduan mutlak, juga antara mengkritik dan menghina itu sangat
berbeda," katanya kepada wartawan, Sabtu (21/9/2019), ia pun mengatakan
bahwa RUU yang telah dibuat telah disesuaikan dengan system demokrasi yang
dianut oleh Indonesia juga ia menambahkan mengharapkan public dapat membedakan
mana kritik dan penghinaan "Saya berharap, masyarakat juga tahu persis
membedakan antara kritik dan menghina," imbuh Taufiqulhadi.
Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa tidak keberatan jika pasal penghinaan
dalam RUU KUHP dihapus "Di rapat itu (rapat konsultasi), Pak Presiden
Jokowi secara khusus menyebut pasal penghinaan terhadap presiden, beliau
mengatakan, 'Saya sendiri tidak merasa perlu ada pasal itu'," kata Wakil
Ketua Komisi III dari Fraksi Demokrat Erma Suryani Ranik di gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Tambahnya lagi ‘’Kita bikin KUHP
bukan untuk Pak Jokowi. Kita bikin KUHP ini untuk Negara Republik Indonesia,
bukan untuk Pak Jokowi, bukan untuk anggota DPR, tapi untuk negara ini. ‘’
jelas Erma pada newsdetik.com (https://news.detik.com/berita/d-4719189/jokowi-minta-pasal-penghinaan-presiden-dihapus-dpr-tak-setuju).
Selain pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden terdapat
pasal karet lainnya seperti pasal 240 yang berbunyi "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan
terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam
masyarakat akan dipidana," dan bagi mereka yang melanggar akan di
penjara maksimal 3 tahun atau didenda Rp.150jt. Menurut Anggota Dewan Pers Arif
Zulkifli bahwa secara khusus ia menggaris bawahi perihal pasal-pasal yang mengancam
kebebasan pers menurutnya kebebasan itu didapat tidak dengan mudah. Tepat pada
21 tahun lalu, lewat UU Nomor 40 tahun 1999, para jurnalis baru bisa menikmati
kebebasannya usai puluhan tahun 'dicengkeram' Orde Baru. "Itu sudah kita
akui sejak 21 tahun lalu, sejak reformasi, kemudian diwujudkan dengan UU Pers.
Maka menurut saya tidak perlu ada langkah mundur karena itu akan bertentangan
dengan keinginan publik soal keterbukaan dan transparansi melalui media massa."
Katanya kepada CNN Indonesia ( https://www.cnnindonesia.com/
). Pasal pasal tersebut tidak dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia yakni mereka berpikir bahwa pasal tersebut
merupakan pasal karet yang dapat disalahartikan karena tidak dijelaskan secara
rinci poin poin yang ingin disamapikan sehingga nantinya akan disalahgunakan
oleh para petinggi atau elite elite negara sebagai penyalahgunaan weweang
karena dalam penafsirannya sangatlah subjektif.
Hal ini juga menjadi titik bagi para jurnalis dikarenakan adanya
RKUHP berkaitan dengan pasal kebebasan berekspresi dibelenggu yakni berbagai
pasal dinilai mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers; penghinaan
pengadilan ( pasal 281 ), penghinaan instrument negara, penghinaan agama (
pasal 30 ), hasutan melawan penguasa ( pasal 247 ), penyiaran berita bohong (
pasal 262 ), pencemaran nama baik ( pasal 440 ), dan pencemaran orang mati (
pasal 444). Ketua Aliansi Jurnalis
Independen ( AJI ) Abdul Manan mengatakan “ Menurut saya, ini semua pasal karet,
bisa menjerat dan sangat subjektif. DPR juga tidak mendengarkan aspirasi
masyarakat sipil. Dengan dipertahankan, DPR tidak mendengarkan aspirasi
komunitas pers. Mereka cuma diundang, tapi tidak diakomodir, hanya menjalankan
kewajibannya saja.” Hal yang sama juga dilakukan oleh Ketua Ikatan Jurnalis
Televesi Indonesia ( IJTI ) Yadi Hendriana dengan meminta kepada Presiden
Jokowidodo untuk tidak menandatangi pasal pasal yang bertentangan dengan pers
juga menghimbau DPR untuk mengkaji ulang dan tidak terburu buru dalam
mengesahkannya "Kami meminta Presiden Jokowi tidak menandatangani RKUHP
karena bertentangan dengan kebebasan pers di Tanah Air. Dan kami meminta DPR
tidak memaksakan diri mengesahkan RKUHP akhir bulan ini karena rawan digunakan
oleh sejumlah pihak untuk mengkriminalisasi jurnalis dan pers." (https://news.detik.com/berita/d-4702269/organisasi-pers-minta-pasal-yang-ancam-kebebasan-jurnalis-di-ruu-kuhp-dihapus).
Yadi pun bertutur bahwa hal ini berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan
melindungi kerja kerja jurnalis. Bukannya hanya mahasiswa yang mengikuti aksi
demo, para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Wartawan Kuningan Bersatu berunjuk
rasa di depan gedung DPRD kabupaten Kuningan, Jawa Barat mereka menyuarakan
pasal pasal yang mengancam kebebasan pers dengan menggunakan kain kafan yang
menyerupai pocong sebagai symbol matinya kebebasan pers. Dalam hal ini Ketua
DPRD Kabupaten Kuningan Nuzul Rachdy mendukung apa yang dilakukan para jurnalis
tentang aspirasi mereka ‘’ Saya mendukung. Pers bagian dari demokrasi. Kalau pers
mati maka demokrasi juga mati. Kita tandatangani dan akan kirimkan ke DPR RI.’’
kata Nuzul. ( https://news.detik.com
) . Senada
dengan Fickar, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi
mengatakan, pasal-pasal tentang penghinaan pada RKUHP berpotensi membungkam
kebebasan pers. Selain itu, penanganannya akan tumpang tindih dengan UU No 40
Tahun 1999 tentang Pers. (https://www.liputan6.com/news/read/4065924/headline-revisi-kuhp-siap-disahkan-pasal-karet-jadikan-pemerintah-antikritik
https://www.liputan6.com/news/read/4065924/headline-revisi-kuhp-siap-disahkan-pasal-karet-jadikan-pemerintah-antikritik)
Menurut saya, bebas berpendapat itu sendiri adalah
kebebasan dalam berbicara dan berpendapat tanpat ada batasannya. Banyak
pro dan kontra dalam pembahasan Rancangan Undang Undang ini termasuk
kebebasan pers dan penghinaan presiden dan wakil presiden, dalam hal ini banyak
sekali pasal pasal yang masih rancu dan tidak ada kejelasan di dalamnya. Pasal karet merupakan sebutan dari sebuah pasal atau
undang-undang yang dianggap tak memiliki tolok ukur yang jelas,
sehingga hal ini tidak ditemukan kejelasannya dalam bersangkut pautan
dengan rancangan undang undang penghinaan presiden ini harus disosialisasikan
kembali terhadap RUU karena sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat
(3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”. Bukan hanya pasal tersebut namun dalam UU No.39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 berbunyi "Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau
tulisan melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai
nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa’’.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia,
yang seharusnya dibuat seperti pasal 378 KUHP tentang penipuan secara detail
dan menyeluruh. RUU KUHP tersebut dibuat tidak sesuai dengan UUD 1945 tentang
kebebasan berpendapat, kemudian RUU tersebut dinilai sangat ambigu dan
multitafsir. Sama juga dengan kebebasan
pers, maka mereka para rakyat berhak mengeluarkan pendapat mereka. Apabila
negara demokrasi tidak boleh berpendapat maka apakah negara ini akan dijadikan
sebagai negara otoriter?
Nama : Vika Astri Putri
Kelas : 1B
NIM : 19030130
Mata Kuliah : Dasar dasar penulisan
Dosen : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom
Nama : Vika Astri Putri
Kelas : 1B
NIM : 19030130
Mata Kuliah : Dasar dasar penulisan
Dosen : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom
Jika
artikel ini tidak sesuai atau salah dalam penuturan silahkan mencatumkan saran
di kolom komentar dibawah ini. Terimakasih J
Komentar
Posting Komentar